selamat datang di blog kami, Blog ini semata dimaksudkan untuk mengembangkan persaudaraan dalam Kasih dan rahmat Tuhan. Semua konten dan isi tidak bermaksud menyinggung masalah sara dan segala perbedaan yang timbul hendaklah disikapi sebagai kebijaksanaan

Minggu, 29 Agustus 2010

PERLUKAH MENUNGGU IKHLAS

Pagi itu udara cukup cerah, meskipun dalam suasana ramadlan, kami biasa bersenda gurau dengan teman-teman kantor. Kebetulan Pak Ibnu Nasikhin membuka guarauan yang berkait dengan zakat mal. Karena beberapa kawan telah memiliki mobil sekelas Kijang Avansa, adalagi yang memiliki usaha pertokoan , dengan gaya bercandanya mengingatkan tentang kewajiban membayar zakat mall ketika hartanya telah mencapai nishab. Satu hal yang menjadi hikmah saya kali ini, ketika seorang teman dengan nada serius , menyatakan untuk melakukan hal diatas ( zakat ) yang penting iklas. Awalnya saya tidak begitu paham maksudnya dan saya meng-iya -kan perkataanya, karena ibadah apapun harus diikuti iklas. Jadi, apa yang slah ?

Namun setelah saya pikir panjang, maksud teman saya itu adalah ibadah yang bersifat mengeluarkan harta , apakah itu shadaqah, zakat, infaq dan seterusnya harus didasarkan kepada kadar keihlasan. Jadi, zakat mall atau zakat fitrah pun kalau belum iklas , berarti boleh tidak mengeluarkan, dong !

Tentu ini salah besar kalau menyangkut sesuatu yang wajib. Karena secara syari’ah sesuatu yang wajib mengandung unsur pemaksaan . Dengan kata lain, dalam kondisi iklas atau tidak iklas kewajiban harus dilaksanakan. Hal ini sebagaimana terjadi pada jaman khalifah Abubakar Ash shidiq, beliau bahkan mengerahkan tentara untuk mengambil Zakat kepada penduduk di Makkah. Allah berfirman dalam surat At-Taubah 103 : “ Ambilah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka ….”. Rasulullah dalam hadits yang di riwayatkan Tabrani menyatakan “ Orang yang enggan membayar zakat akan masuk neraka.”

Dalam khasanah spiritual, iklas merupakan landasan utama karena menyangkut sah tidak sahnya ibadah. Iklas merupakan pekerjaan hati yang menerima dengan rela dan penuh kesadaran apa yang menjadi ketentuan sariah. Dalam kontek hakekat maka pernyataan teman saya tadi memang tidak salah. Apagunanya membayar Zakat kalau tidak iklas. Tetapi dalam Ranah Syariah teman saya tadi salah, karena menunaikan yang wajib tidak perlu menunggu iklash.

Apakah ini sebuah pertentangan ? Bagi ahli hukum tentu paham hakekat tadi adalah sesuatu yang mengada-ada, karena secara legal formal , peraturan Zakat sudah mutlaq dan jelas. Bagi ahli tasyawuf tanpa ikhlas ibadah tidak berguna, karena muara agama adalah hati. Namun secara spiritual karena keduanya melengkapi. Sebagaimana pernyataan Imam Malik ra. “ barang siapa menjalani syariat tanpa sampai kepada hakekat maka ia telah fasik. Barang siapa mencapai hakekat tetapi tidak menjalan syari’at maka ia zindik. Dan barang siapa mengumpulkan keduanya maka sungguh ia telah mancapai hakekat ( spiritual )“


Tidak ada komentar: